Sulit untuk tidak merasakan hal tersebut ketika melihat banyak fotografer berkeliaran dengan berbagai jenis kamera DSLR (Digital Single Lens Reflex) dengan lensa seukuran termos. Belum lagi kamera-kamera mirrorless yang mini dan kompak tetapi tidak kalah dari DSLR. Sementara, saya sendiri hanya berbekal sebuah kamera prosumer atau bridge kamera Fuji Finepix HS35 EXR.
Kalau dihitung secara nilai ekonomis, satu saja kamera DSLR dan lensa seukuran termosnya bisa dipakai untuk membeli 7-10 buah si Finepix HS35EXR. Sebuah kamera Mirorless dengan lensanya yang meskipun mini, cukup maksi dalam hal jumlah uang yang dikeluarkan, yaitu paling tidak senilai 3-5 kali prosumer di tangan saya.
Seorang kenalan yang baru saya temui saja (seorang anak muda) memakai sebuah kamera Fuji Mirrorless seri X . Ia menceritakan bahwa dua buah sepeda motor miliknya dilego untuk menebus kameranya + sebuah Go pro. Bisa dibayangkan uang yang dibelanjakan untuk kamera yang ukurannya cukup kecil itu.
Belum kalau terbayang berbagai spesifikasi tehnis seperti sensor terbaru, autofocus yang sangat cepat, lensa lebar yang bisa menghasilkan “bokeh” yang sangat halus dan berbagai hal lainnya. Sama sekali tidak bisa disamakan dengan si Finepix yang sangat terbatas sekali dalam berbagai hal.
Jelas si Finepix HS35EXR bukan tandingan dari kamera-kamera tersebut.
Itulah perasaan yang timbul ketika berkeliaran di Cap Go Meh Bogor 2016, Februari 2016 yang lalu. Sulit sekali untuk meredam rasa rendah diri yang sekonyong-konyong timbul menjelang pawai dimulai.
Banyak sekali pertanyaan kemudian timbul. Mampukah saya menandingi hasil-hasil karya mereka-mereka? Bisakah foto-foto keluaran si Finepix menarik perhatian pembaca Lovely Bogor? Apakah hasilnya nanti tidak memalukan? Dan sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut timbul akibat dikelilingi begitu banyak kamera dengan kemampuan dan spesifikasi mumpuni yang baru saya ketahui dari membaca reviewnya saja. Belum pernah mencoba satupun. Si Finepix adalah kamera terbaik yang pernah saya beli selama ini (selain kamera smartphone dan sebuh digicam kecil).
Belum lagi karena menyadari kemampuan tehnis yang masih sangat dangkal.
Cukup lama rasa rendah diri tersebut bercokol.
Hingga akhirnya diputuskan untuk menjauhkan diri. Bukan karena minder, tetapi lebih karena mencari posisi yang bisa memudahkan untuk mengambil foto peserta pawai/karnaval. Sulit untuk mengambil gambar ketika kerumunan penonton terlalu rapat.
Ternyata banyak sekali momen-momen menarik di sepanjang yang akan dilalui pawai. Mulai dari penonton-penonton yang duduk di pinggir jalan hingga para pemotret atau fotografer sendiri yang hadir dengan berbagai macam gaya (lihat Cap Go Meh Bogor #4 : Para Fotografer).
Akhirnya, tidak terasa berulang kali tangan menekan tombol shutter untuk mengabadikan momen tersebut.
Ditambah dengan parade yang dimulai dan tertutupilah rasa minder tersebut dengan kostum-kostum menarik para peserta pawai.
Tiga ratus tiga puluh dua foto diproduksi oleh si Finepix dselama kurang lebih 4-5 jam menonton acara tersebut. Hampir 2 Gigabyte space memory card terpakai.
Setelah dipilah paling tidak 1/2 dibuang karena kurang “bagus” (menurut ukuran saya sendiri). Sebgian lagi disimpan karena tidak sesuai dengan artikel yang akan dibuat (momen diambil karena menarik perhatian saja). Sisanya bisa dilihat pada Seri Cap Go Meh Bogor (1-6).
Beberapa kemudian disharing ke beberapa komunitas Bogor di Facebook. Hasilnya beberapa puluh “Like” dan cukup banyak komentar positif. Banyak ucapan terima kasih karena banyak yang ingin menonton tetapi tidak sempat karena harus bekerja (Festival Cap Go Meh Bogor 2016 diadakan di hari Senin).
Tidak ada komentar negatif terhadap foto-foto yang dipajang.
Berbagai foto dari acara yang sama, yang diposting oleh rekan-rekan lainnya, dengan kamera
Smartphone/HP pun mendapatkan hal yang serupa. Puluhan “Like” dan ungkapan terima kasih dari anggota komunitas pun diberikan.
TIDAK ADA SEORANG PUN YANG BERTANYA DENGAN APA FOTO TERSEBUT DIBUAT.
Fotografi Itu Tentang Mengabadikan Momen, Bukan Tentang Kamera
Sebuah kenyataan yang membuat berpikir tentang “MENGAPA HARUS MERASA RENDAH DIRI?”Pada kenyataannya semua yang hadir pada perayaan tersebut
- Bukan untuk bertanding
- Bukan pamer harga kamera
- Bukan untuk berlomba
- Bukan untuk membandingkan hasil jepretan
Cap Go Meh Bogor 2016.
Tentu dengan tujuan dan berbagai alasan yang berbeda-beda. Ada yang mengabadikan momen untuk kepentingan tugas, yaitu wartawan. Ada juga yang untuk mencari uang. Ada pula yang bertujuan untuk mendapatkan momen-momen terbaik untuk dipamerkan di komunitas fotografer. Yang paling banyak adalah untuk merekam momen-momen yang menurut mereka menarik untuk dibagikan, entah pada keluarga atau teman tentang puncak perayaan Imlek tersebut.
Semua datang dengan niat dan target masing-masing.
Begitu juga saya, yang datang untuk mencari momen-momen menarik untuk dipajang di blog ini, Lovely
Bogor. Itulah niat dan target mengapa satu hari kerja dikorbankan. Tidak berbeda dengan mereka-mereka.
Pada dasarnya semuanya datang untuk melakukan inti dari fotografi itu sendiri, yaitu tentang mengabadikan momen dalam kehidupan manusia.
Mengenai peralatan dan cara yang dilakukan akan berbeda antar setiap orang. Bahkan meskipun sasaran lensanya sama, hasilnya sudah jelas dan pasti berbeda. Tidak akan ada yang sama.
Semuanya akan tergantung pada banyak hal. Kamera dan kemampuannya tentu memegang peranan. Skill individu dalam menangkap momen dan mengolah kamera pun berperan penting. Tetapi tidak akan ada foto yang akan sama karena dua fotografer tidak mungkin berada pada posisi yang sama dalam satu waktu.
Hasil akhir dari yang dihasilkan oleh kamera pun akan ditanggapi beragam oleh pemirsa yang juga berbeda. Seorang wartawan akan menghadapi pemirsa utama, yaitu redakturnya yang akan memilah dan menilai hasil kerjanya. Seorang yang memotret dengan smatrphone hanya untuk dibagikan ke wall miliknya di facebook, menghadapi teman-temannya sebagai pemirsa utamanya. Dan saya, akan menyajikan foto-foto tersebut bagi pembaca Lovely Bogor.
Semuanya memiliki target yang berbeda. Foto-foto yang berbeda. Pemirsa yang berbeda. Yang jelas ini bukanlah sebuah pertandingan dengan pemirsa atau juri yang sama.
Kesamaannya hanya ada satu hal, yaitu mengabadikan momen itu sendiri.
Lalu kenapa saya MINDER saat itu? Rupanya jawabannya ternyata sederhana.
Berada dalam sebuah lingkungan masyarakat yang masih memandang status dan materi sebagai sebuah tolok ukur keberhasilan ternyata memberikan pengaruh cukup besar. Seberapapun besar usaha yang sudah dilakukan untuk menghapus paradigma tersebut belum sepenuhnya berhasil.
Saya masih terjebak dalam pandangan semakin mahal akan semakin bagus. Semakin tinggi tehnologi yang dipergunakan akan semakin baik yang dihasilkan. Semakin tenar merek yang dipakai, sudah pasti menjamin hasil yang lebih berkualitas.
Begitu pun pada acara tersebut. Melihat kamera DSLR berharga puluhan juta rupiah langsung membuat otak saya berkata “hasil mereka pasti lebih baik”. Menatap kamera Mirrorless seharga 2 sepeda motor memaksa benak saya mengasumsikan foto yang dikeluarkannya sudah pasti “lebih bagus” (seperti kata berbagai review kamera di internet).
Fotografi dikecilkan maknanya hanya sebatas harga dan kemampuan kamera yang dipakai. Makna dari kamera menjadi lebih besar, luas, dan berkuasa dari seharusnya, yaitu sebagai alat saja.
Itulah yang membuat perasaan tertekan.
Hingga pada akhirnya reaksi dari para pemirsa foto di facebook menyadarkan sebuah hal penting. yaitu fotografi adalah tentang mengabadikan momen dan bukan tentang kamera.
Kamera hanyalah alat untuk melakukannya.
Baik juri atau masyarakat umum tidak akan menjadikan kamera sebagai salah satu kriteria penilaiannya.
Mereka hanya melihat hasil akhir dalam bentuk foto, meskipun para juri lomba akan menilai dengan cara yang berbeda sesuai dengan pengetahuan tehnis, seperti komposisi foto dan sebagainya.
Apalagi, acara Cap Go Meh Bogor 2016 yang lalu bukanlah ajang lomba. Tidak ada juri lomba yang akan memutuskan pemenang atau yang kalah. Para pemegang kamera atau fotografer yang hadir memiliki tujuan, target, dan pemirsa masing-masing.
Dan saya merasa “Bodoh” harus merasa MINDER hanya karena hal tersebut. Sesuatu yang harus bisa diatasi di masa depan agar lebih terfokus pada hal lain dibandingkan berpikir tentang harga dan kemampuan teknis kamera orang lain.
Mungkin sudah saatnya saya berhenti membaca berbagai Review Kamera.
sumber : http://lovelybogor.com/fotografi-itu-tentang-mengabadikan-momen-bukan-tentang-kamera/
Bagikan
Fotografi Itu Tentang Mengabadikan Momen, Bukan Tentang Kamera
4/
5
Oleh
Unknown